BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara membangun yang perekonomiannya masih bersifat terbuka, yang artinya masih rentan terhadap pengaruh dari luar. Selain faktor dari luar, salah satu penyebab krisis yang terjadi di Indonesia juga berasal dari dalam negeri, yaitu proses integrasi perkonomian Indonesia ke dalam perekonomian global yang berlangsung dengan cepat dan kelemahan fundamental mikroekonomi yang tercermin dari kerentanan (fragility) sektor keuangan nasional, khususnya sektor perbankan, dan masih banyak faktor-faktor lainnya yang berperan menciptakan krisis di Indonesia.
Awal-awal menjelang Krisis ekonomi, pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan perkembangan yang baik, yang artinya tidak ada tanda-tanda yang terlalu merisaukan atau memberi tanda krisis yang serius akan menerpa. Sejak akhir dasawarsa 1980-an pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata sekitar 8% per tahun pada pertengahan 1997 tumbuh dengan laju tahunan 7,4%. Justru kepanikan terjadi karena adanya peningkatan harga yang sangat tajam barang-barang dan jasa akibatnya melemahnya kurs rupiah terhadap dollar.
Salah satu beban ekonomi Indonesia adalah utang luar negeri yang terus membengkak, Utang ini sudah begitu berat mengingat pembayaran cicilan dan bunganya yang begitu besar. Biaya ini sudah melewati kapasitas yang wajar sehingga biaya untuk kepentingan-kepentingan yang begitu mendasar dan mendesak menjadi sangat minim yang berimplikasi sangat luas. Sebagai negara berkembang yang sedang membangun, yang memiliki ciri-ciri dan persoalan ekonomi, politik, sosial dan budaya yang hampir sama dengan negara berkembang lainnya,Indonesia sendiri tidak terlepas dari masalah utang luar negeri, dalam kurun waktu 25 tahun terakhir,utang luar negeri telah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pembangunan di Indonesia. Bahkan utang luar negeri telah menjadi sumber utama untuk menutupi defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan memberikan kontribusi yang berarti bagi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.Meskipun utang luar negeri (foreign debt) sangat membantu mentupi kekurangan biaya pembangunan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) namun persoalan pembayaran cicilan dan bunga menjadi beban yang terus menerus harus dilaksanakan,apalagi nilai kurs rupiah terhadap dollar cenderung tidak stabil setiap hari bahkan setiap tahunnya.
Pertengahan tahun 1997 Indonesia telah mengalami krisis moneter yang disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya besarnya jumlah hutang swasta jangka pendek dan menengah serta utang-utang pemerintah yang menyebabkan nilai tukar Rupiah tertekan, kebijakan fiskal dan moneter yang tidak konsisten, membesarnya defisit neraca berjalan dan terdepresiasinya mata uang Bath dan berimbas pada nilai dollar. Di Indonesia hal ini juga membuat terjadinya krisis kepercayaan masyarakat terhadap Rupiah sehingga masyarakat menyerbu Dollar untuk mengamankan kekayaanya.
Dengan adanya krisis ekonomi tersebut kinerja perbankan Indonesia terus menunjukkan perkembangan yang memburuk. Hal ini ditandai dengan hilangnya kepercayaan masyarakat dengan terjadinya penarikan besar-besaran. Berdasarkan data Bank Indonesia, Jumlah pinjaman luar negeri pasca krisis pun meningkat yaitu pada tahun 2000 dalam juta dollar sebesar US$ 133.073,00 padahal sebelumnya pada tahun 1998 dan 1999 jumlah utang luar negeri Indonesia adalah US$ 20.567,00 dan US$ 110.934,00.
Pasca awal terjadinya krisis, yaitu tahun 1999 pemerintah sudah mengambil langkah seribu untuk menambah jumlah hutang atau pun pinjaman dari pihak asing. Meningkatnya jumlah pinjaman pada tahun 2000 yakni sebesar US$ 133.073,00 terjadi karena adanya tindakan pemerintah untuk menstabilkan nilai rupiah terhadap mata uang asing sehingga hal ini membutuhkan cadangan devisa yang sangat besar, sementara cadangan devisa sebelumnya sudah terkuras untuk menghadapi kepanikan masyarajat yang secara beramai-ramai membeli dollar secara besar-besaran dengan asumsi dollar akan naik lagi.
Indonesia sebenarnya pernah memiliki suatu kondisi perekonomian yang cukup menjanjikan pada awal dekade 1980-an sampai pertengahan dekade 1990-an. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Indonesia, pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 1986 sampai tahun 1989 terus mengalami peningkatan, yakni masing-masing 5,9% di tahun 1986, kemudian 6,9% di tahun 1988 dan menjadi 7,5% di tahun 1989. Namun pada tahun 1990 dan 1991 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencatat angka yang sama yakni sebesar 7,0%, kemudian tahun 1992, 1993, 1994, 1995, dan 1996, masing-masing tingkat pertumbuhan ekonominya adalah sebesar 6,2%, 5,8%, 7,2%, 6,8%, dan 5,8%. Angka inflasi yang stabil, jumlah pengangguran yang cukup rendah seiring dengan kondusifnya iklim investasi yang ditandai dengan kesempatan kerja yang terus meningkat, angka kemiskinan yang cukup berhasil ditekan, dan sebagainya. Namun, pada satu titik tertentu, perekonomian Indonesia akhirnya runtuh oleh terjangan krisis ekonomi yang melanda secara global di seluruh dunia. Ini ditandai dengan tingginya angka inflasi, nilai kurs Rupiah yang terus melemah, tingginya angka pengangguran seiring dengan kecilnya kesempatan kerja, dan ditambah lagi dengan semakin membesarnya jumlah utang luar negeri Indonesia akibat kurs Rupiah yang semakin melemah karena utang luar negeri Indonesia semuanya dalam bentuk US Dollar. Adanya kerapuhan Indonesia tersebut disebabkan dengan tidak adanya dukungan mikro ekonomi yang kuat. Permasalahan yang masih tidak dapat diselesaikan sampai saat ini adalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang terlalu tinggi di Indonesia, sumber daya manusia Indonesia kurang kompetitif, jiwa entrepreneurship yang kurang, dan sebagainya. Berdasarkan uraian tersebut di atas tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai komponen dalam neraca pembayaran yang dalam hal ini adalah utang luar negeri (foreign debt) turut mempengaruhi keadaan perekonomian di suatu negara. Negara-negara yang umumnya merupakan negara yang sedang berkembang masih terus berusaha untuk menyempurnakan ekonomi internasionalnya.
Dampak utang luar negeri (foreign debt) pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi banyak dipertanyakan orang. Beberapa pengalaman dan bukti empiris juga telah menunjukkan bahwa sejumlah negara yang memanfaatkan pinjaman luar negeri untuk melaksanakan pembangunannya dapat berhasil dengan baik. Dalam berbagai model analisis regresi, jarang ditemukan dampak positif utang luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi. Bahkan dengan model tertentu, terlihat bahwa utang luar negeri justru berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Bagi negara berkembang termasuk Indonesia, pesatnya aliran modal merupakan kesempatan yang bagus guna memperoleh pembiayaan pembangunan ekonomi. Dimana pembangunan ekonomi yang sedang dijalankan oleh pemerintah Indonesia merupakan suatu usaha berkelanjutan yang diharapkan dapat mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, sehingga untuk dapat mencapai tujuan itu maka pembangunan nasional dipusatkan pada pertumbuhan ekonomi. Namun karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki (tercermin pada tabungan nasional yang masih sedikit) sedangkan kebutuhan dana untuk pembangunaan ekonomi sangat besar. Maka cara untuk mencapai pertumbuhan ekonomi itu adalah dengan berusaha meningkatkan investasi.Investasi ini tidak jarang berasal dari luar negeri maupun dari pemerintah dengan mengandalkan hutang-hutang.
1.2 Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka ada beberapa rumusan masalah yang dapat dijadikan sebagai dasar kajian dalam penelitian yang akan dilakukan dengan tujuan untuk mempermudah penulisan skripsi ini. Selain itu, perumusan masalah ini diperlukan sebagai cara untuk mengambil keputusan di akhir penulisan skripsi. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah terdapat hubungan timbal balik antara utang luar negeri dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia?
2. Apakah terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang antara utang luar negeri dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia?
3. Bagaimana hubungan antara utang luar negeri dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia sebelum dan sesudah krisis ekonomi ?
1.3 Tujuan:
Adapun tujuannya adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui hubungan timbal balik antara utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia
2. Untuk mengetahui hubungan keseimbangan jangka panjang antara utang luar negeri dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia
3. Untuk mengetahui pengaruh Utang luar negeri (foreign debt) terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter
BAB II
TEORI PEMBAHASAN
2.1 Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan output riil. Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapita. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output riil per orang.
Suatu perekonomian dapat dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi jika jumlah barang dan jasa meningkat. Jumlah barang dan jasa dalam perekonomian suatu negara dapat diartikan sebagai nilai dari Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai PDB ini digunakan dalam mengukur persentase pertumbuhan ekonomi Suatu negara.
Perubahan nilai PDB akan menunjukkan perubahan jumlah kuantitas barang dan jasa yang dihasilkan selama periode tertentu. Selain PDB, dalam suatu negara juga dikenal ukuran PNB (Produk Nasional Bruto ) serta Pendapatan Nasional (National Income). Defenisi PDB yaitu seluruh nilai tambah yang dihasilkan oleh berbagai sektor atau lapangan usaha yang melakukan kegiatan usahanya di suatu domestik atau agregat.
Salah satu kegunaan penting dari data-data pendapatan Nasional adalah untuk menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai suatu negara dari tahun ke tahun. Dalam penghitungan pendapatan nasional berdasarkan pada harga-harga yang berlaku pada tahun tersebut.Apabila menggunakan harga berlaku ,maka nilai pendapatan nasional menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Perubahan tersebut dikarenakan oleh pertambahan barang dan jasa dalam perekonomian serta adanya kenaikan-kenaikan harga yang berlaku dari waktu ke waktu. Pendapatan nasional berdasarkan harga tetap yakni perhitungan pendapatan nasional dengan menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun (tahun dasar) yang seterusnya digunakan untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada tahun-tahun beriutnya. Nilai pendapatan nasional yang diperoleh secara harga tetap ini dinamakan pendapatan nasional riil.
Teori pertumbuhan ekonomi merupakan sebagai penjelasan mengenai faktor-faktor apa yang menentukan kenaikan output per kapita dalam jangka panjang,dan penjelasan mengenai bagaimana faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain,sehingga terjadi proses pertumbuhan.Jadi,teori pertumbuhan ekonomi tidak lain adalah suatu “caritera” (yang logis) mengenai bagaimana proses pertumbuhan terjadi.
1. Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik
Teori ini dikembangkan oleh Abramovitz dan Solow yang mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi tergantung pada perkembangan faktor-faktor produksi. Teori ini pada hakekatnya menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi tergantung pada faktor-faktor berikut, yakni :
- Pertambahan modal dan produktifitas marginal
- Pertambahan tenaga kerja dan produktifitas tenaga kerja margina
- Perkembangan tekhnologi
2. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik
Pada bagian ini akan dijabarkan teori pertumbuhan yang diakui oleh ekonomikawan modern, atau lebih dikenal dengan teori pertumbuhan neo klasik. Kita akan melihat tahapan demi tahapan atas penjelasan terhadap teori pertumbuhan ekonomi tersebut. Teori ini juga merupakan teori yang mendasari penelitian ini yaitu teori Harrod-Domar dan Sollow-Swan yang membahas tentang bagaimana capital, output, dan tekhnologi dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
2.2 Krisis Moneter
Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak awal juli 1997 selama kurun waktu setahun telah berubah menjadi krisis ekonomi yakni melumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparah sepanjang 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu dan kelanjuannya.
Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat yang tercermin dari pertumbuhan yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus. Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural seperti peraturan perdagangan domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidakpastian sehingga masuk dana luar negeri dalam jumlah besar melalui sistem perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi juga krisis kepercayaan. Namun semua kelemahan ini masih mempu ditampung oleh perekonomian nasional.
2.2.1 Krisis Moneter dan Faktor-Faktor Penyebabnya
Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental Indonesia yang selama ini lemah, tetapi terutama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melakukan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya. Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar.Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan kata lain,walaupun distorsi pada tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi juga, karena cadangan devisa yang tidak ada dan todak cukup kuat untuk menahan gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya yang datangnya saling bersusulan.Analisis faktor-faktor penyebab ini penting, karena penembuhannya tentunya tergantung dari ketepatan diagnose.
Penyebab utama dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan faktor satu-satnya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbeda menuru sisi pandang masing-masing pengamat. Berikut ini diberikan rangkuman dari berbagai faktor tersebut menurut urutan kejadiannya :
1) Dianutnya sistem devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai, memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas berapapun jumlahnya.
2) Tingkat deoresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2.4% hingga 5.8% antara tahun 1988 hinggan 1996, yang berada di bawah nilai tukar nyatanya, menyebabkan nilai rupiah secara komulatif sangat overvalued. Ditambah dengan kenaikan pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan dan produk dalam negeri yang semakin lama semakin kalah bersaing dengan produk dalam negeri relatif mahal, sehingga masyarakat memilih barang impor yang kualitasnya lebih baik.
3) Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan berat karena tidak tersedianya devisa yang cukup untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya, ditambah sistem perbankan nasional yang lemah.
4) Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing yang dikenal sebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena praktek margin trading, yang memungkinkan dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar.
5) Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistem nilai tukar dengan pita batas intervensi.
6) Defisit neraca berjalan yang semakin membesar yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman.
7) IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda penguncuran dana bantuan yang dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan dengan baik.
8) Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik keuntungan dari merosotnya nilai tukar rupiah.
Dalam menghadapi tekanan depresiatif yang kuat pada kurs rupiah sejak bulan Juli 1997, beberapa kebijakan bank sentral telah digulirkan seperti pelebaran kisaran intervensi dan pengetatan likuiditas perbankan dengan menaikkan tingkat diskonto SBI. Dengan semakin meningkatnya tekanan kepada kurs rupiah, pada pertengahan Agustus 1997, telah diambil kebijakan penentuan kurs berdasar pada sistem mengambang bebas.
Seiring dengan kebijaksanaan moneter yang ketat yang diarahkan untuk mengurangi tekanan permintaan terhadap devisa, ditempuh kebijaksanaan fiskal yang juga bersifa kontraktif. Sejumlah proyek-proyek pembangunan untuk TA 1997/98 dijadwalkan kembali pelaksanaanya. Di samping itu juga dilakukan penghematan terhadap pengeluaran yang bersifat non fisik. Perlakuan khusus berupa bantuan keuangan dan fasilitas kredi untuk industri strategis tertentu juga ditiadakan. Namun nilai tukar rupiah terus merosot, demikian pula dengan kondisi keuangan dan perekonomian.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pada akhir Oktober 1997, disusun kebijaksanaan dan program penyehatan ekonomi dan keuangan, yang didukung oleh Dana Moneter Internasional
Program reformasi dan restrukturisasi ekonomi dan keuangan diperkuat lagi pada pertengahan Januari 1998, dan dibentuk Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPK-EKU) guna mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan program tersebut. Pada bulan Januari pula, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dibentuk untuk memperbaiki kepercayaan terhadap perbankan nasional.
Dengan terjadinya krisis politik pada bulan Mei 1998 dan meluasnya krisis ekonomi, Memorandum tambahan tersebut disempurnakan pada bulan Juni 1998. Untuk memperkuat pengendalian moneter, sistem penentuan suku bunga SBI diubah dari penentuan secara administratif menjadi sistem lelang mulai bulan Juli 1998.
Di bidang keuangan negara, sebagai akibat situasi perekonomian yang terus memburuk tersebut, pemerintah bersama-sama DPR pada bulan Juni 1998 melakukan revisi APBN 1998/1999 yang disesuaikan dengan perkembangan terakhir. Di tengah situasi perekonomian yang semakin memburuk, revisi APBN ini dititik beratkan pada pemanfaatan anggaran negara untuk memperkuat jaring pengaman sosial (social safety net), memperbesar enyerapan tenaga kerfja dan meningkatkan produksi pangan.
2.3 Utang Luar Negeri (Foreign Debt)
Utang luar negeri merupakan bantuan luar negeri (loan) yang diberikan oleh pemerintah negara-negara maju atau badan-badan internasional yang khusus dibentuk untuk memberikan pinjaman semacam itu dengan kewajiban untuk membayar kembali dan membayar bunga pinjaman tersebut.
Adapun bentuk-bentuk bantuan luar negeri dapat dibedakan atas :
1. Pinjaman dengan syarat pengembalian
a. Hadiah/Grant: yaitu bantuan luar negeri yang tidak bersyarat pengembalian atau pelunasannya kembali.
b. Pinjaman Lunak : yaitu pinjaman dengan syarat yang sangat ringan, dimana jangka waktu pengembaliannya antara 20 tahun sampai dengan 30 tahun dan tingkat bunga antara 0 sampai dengan 4,5 persen per tahun.
c. Pinjaman/Kredit Ekspor : yaitu kredit yang diberikan oleh negara pengekspor dengan jaminan tertentu untuk meningkatkan ekspor. Jangka waktu pembayarannya adalah 7 tahun sampai dengan 15 tahun da tingkat bunga antara 4 persen sampai dengan 8,5 persen per tahun.
d. Kredit Komersial : yaitu kredit yang dipinjamkan oleh bank dengan tingkat bunga dan lain-lain sesuai perkembangan pasar internasional.
2. Pinjaman/Kredit Bilateral/Multilateral
a. Pinjaman/Kredit Bilateral: misalnya bantuan/kredit yang diperoleh dari negara CGI.
b. Pinjaman/Kredit Multilateral: misalnya bantuan/kreditndari peserta IBRD, IDA, UNDP, ADB, dan lain-lain
3. Pinjaman/Bantuan menurut kategori ekonomi, barang/jasa
a. Bantuan program: yaitu berupa pangan, misalnya dalam rangka PL 480 atau dalam bentuk devisa kredit.
b. Bantuan Proyek: yaitu bentuan yang diperoleh untuk pembiyaan dan pengadaan barang/jasa pada proyek-proyek pembangunan.
c. Bantuan Tekhnik: yaitu berupa pengiriman tenaga ahli dari luar negeri atau tenaa-tenaga Indonesia yang dilatih di luar negeri.
Sumber-sumber pinjaman luar negeri yang diterima pemerintah Indonesia dalam setiap tahun anggaran yang berupa pinjaman bersumber dari:
1. Pinjaman Multilateral
Pinjaman multilateral sebagian besar diberikan dalam satu paket pinjaman yang telah ditentukan, artinya satu naskah perjanjian luar negeri antara pemerintah dengan lembaga keuangan internasional untuk membina beberapa pembangunan proyek pinjaman multilateral ini kebanyakan diperoleh dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (BPD), Bank Pembangunan Islam (IDB), dan beberapa lembaga keuangan regional dan internasional.
2. Pinjaman Bilateral
Pinjaman bilateral adalah pinjaman yang berasal dari pemerintah negara –negara yang tergabung dalam negara anggota Consultative Group On Indonesia (CGI) sebagai lembaga yang menggantikan kedudukan IGGI.
2.3.1 Latar Belakang Timbulnya Utang Luar Negeri
Dari perspektif negara donor setidaknya ada dua hal penting yang dianggap memotivasi dan melandasi bantuan luar negeri ke negara-negara debitor. Kedua hal tersebut adalah motivasi politik (political motivation) dan motivasi ekonomi (economi motivation), dimana keduanya mempunyai keterkaitan yang sangat erat yang satu dengan yang lainnya.
Sebagai negara berkembang yang tetap konsisten dalam mempergunakan utang luar negeri dalam politik pembangunannya, Indonesia untuk masa mendatang masih tergantung pada komponen ini. Seberapa besar ketergantungannya tentu banyak faktor yang mempengaruhinya. Apapun argumennya, untuk saat ini mengalirnya dana dari luar negeri merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi Indinesia untuk menginjeksi dana pembangunannya.
Di era globalisasi dam dengan tingkat persaingan yang begitu besar, di samping pemerintah, pihak swasta juga memerlukan dana, akan mengakibatkan perburuan pinjaman yang bersyarat lunak akan meningkat dan tentunya akan semakin sulit diperoleh. Melihat kondisi ini, diperkirakan akan terjadi peningkatan dalam pinjaman komersial seiring dengan meningkatnya peran pohak swasta dan langkahnya pinjaman resmi yang bersyarat nlunak. Oleh karena itu, tidaklah heran untuk masa perspektif utang luar negeri Indonesia dicirikan pada meningkatnya pinjaman yang bersifat komersial.
Banyak pihak yang mengkhwatirkan kondisi pinjaman luar negeri pemerintah maupun pinjaman swata cukup beralasan. Angka statistik pinjaman luar negeri Indonesia, baik pemerintah maupun swasta memang masih menunjukkan tingginya kewajiban Indonesia dalam membayar kembali pokok dan bunga pinjaman luar negeri. Beberapa indikator dalam mengukur beban utang, seperti:
• Debt service Ratio (DSR) yang merupakan perbandingan antara kewajiban membayar untang dan cicilan untang luar negeri dengan devisa hasil ekspor.
• Debt to Export Ratio yang merupakan rasio utang terhadap ekspor.
• Debt to GDP Ratio yang merupakan rasio utang terhadap PDB.
Pinjaman luar negeri tersebut tidak semua diberikan dalam bentuk rupiah atau tepatnya mata uang asing tertentu tetapi dalam bentuk bantuan proyek dan bantuan program. Bantuan proyek diberikan dalam bentuk pinjaman berupa peralatan-peralatan, barang-barang ataupun jasa (konsultan asing), sedangkan bantuan program diberikan dalam bentuk bantuan tunai.
2.3.2. Teori Utang Luar Negeri
Meskipun demikian perannan dana bantuan luar negeri dan modal asing terhadap kemajuan, pertumbuan dan pembangunan ekonomi negera berkembang telah lama menjadi perdebatan hangat diantara kelompok-kelompok perdagangan dunia. Sekelompok ekonom pada tahun 1950-an dan 1960-an berpendapat dan meyakini bahwa bantuan luar negeri mempunyai dampak yang positif terhadap pembangunan ekonomi suatu negera tanpa menimbulkan gangguan pada masa sesudahnya bagi negara-negara debitor tersebut. Pengalaman keberhasilan pembangunan kembali perekonomian negara-negara Eropa Barat melalui Marshal Plan seperti telah disinggung, menjadi dasar kelompok tersebut menganjurkannya diterapkan dinegara-negara berkembang. Asumsi yang mereka gunakan dalam proses penganjurannya adalah bantuan luar negeri akan menambah sumber-sumber produktif tanpa menimbulkan dampak substitusi terhadap hubunga domesti, dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap alokasi dan efisiensi sumber daya terutama tingkat efisiensi dalam penggunaan modal.
Pengalaman seperti yang diuraikan di atas juga mengilhami teoriyang dikembangkan oleh Sir Roy Harrod (Inggris) dan kemudian dikenal dengan teori Harrod-Domar. Teori yang berbicara tentang penggunaan bantuan luar negeri dalam pembiayaan pembangunan selanjutnya dikembangkan oleh beberapa ekonom seperti Hollis Chenery, Alan Strout, dan lain-lain pada tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Pemikiran mereka seperti yang diungkapkan oleh Chenery dan Carter (1973) dapat dikelompokkan ke dalam empat pemikiran mendasar.
Pertama, sumber dana eksternal (modal asing) dapat dimanfaatkan oleh negara sedang berkembang sebagai suatu dasar yang signifikan untuk memacu kenaikan investasi serta pertumbuhan ekonomi. Kedua, untuk menjaga dan mempertahankan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi diperlukan perubahan dan perombakan yang subtansial dalam struktur produksi dan perdagangan. Ketiga, modal asing dapat berperan penting mobilisasi sumber dana dan transformasi struktural. Keempat, kebutuhan akan modal sing akan menjadi menurun setelah perubahan struktural terjadi.
Pemikiran di atas sedemikian kuatnya mempengaruhi proses perencanaan pembangunan di negara-negara sedang berkembang yang semata-mata hanya mengandalkan upaya proses pembangunannya pada sumber-sumber daya domestik. Malahan porsi bantuan luar negeri tidak lagi diperlakukan sebagai faktor pelengkap (complementary factor), tapi telah menjadi sumber utama dalam pembiyaan pembangunan.
Pertimbangan suatu negara atau perusahaan melakukan pinjaman luar negeri dipengaruhi oleh beberapa hal, yang dapat dikategorikan dalam 2 faktor pendorong masuknya dana ke dalam negeri (push factors) dan faktor internal yang menarik dana masuk (pull factors).
Yang merupakan push faktor antara lain adalah :
a. Perbedaan tingkat suku bunga US (Dollar Amerika Serikat dan negara-negara maju)
b. Capital market yang terintegrasi
c. Kelebihan likuiditas di pasar internasional
d. Variasi produk financing
e. Keterbatasan kemampuan bank untuk menyediakan kredit berjangka menengah penjang
f. Persyaratan dan prosedur pinjaman yang mudah
g. Kompentensi dan reputasi bank asing di luar negeri
2.3.3 Beban Cicilan dan Bunga Utang terhadap Perekonomian serta Peranan Pinjaman Luar Negeri Terhadap Pembiyaan Pembangunan
Beban pembayaran cicilan dan bunga utang pemerintah berdampak pada beban APBN yang semakin berat dan arus modal keluar semakin deras menurun, diimbangi peningkatan laju ekspor. Lebih jauh lagi, investasi pemerintah (belanja pembangunan) semakin tertekan karena alokasi dana untuk membayar cicilan utang dan bunganya.Beban cicilan dan bunga utang pemerintah yang semakin besar menggeser alokasi dana-dana untuk pengeluaran pos lain. Secara tidak langsung, masyarakat terkena dampaknya dengan berkurangnya proporsi pengeluaran untuk pos-spos yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat.
Krisis yang terjadi sejak 1997 telah menyebabkan beban APBN dalam utang publik mencapai lebih dari 110 persen terhadap PDB. Beban utang politik ini separuhnya adalah utang dalam negeri (obligasi) yang nilainya mencapai RP 650 triliun untuk perbaikan sektor perbankan, serta utang luar negeri yang jumlahnya mencapai US$ 75 milyar
Masuknya arus utang luar negeri di tengah utang lama belum mampu di bayar, dan juga terus dinegosiasikan untuk menjadwalkan kembali (reschedulling) kontrak yang sudah dibuat sebelumnya, menjadi sesuatu hal yang tak terelakkan. Dari sisi pemerintah, dana segar berupa valuta asing dari luar negeri tersebut bukan saja sangat penting untuk menutup defisit fiskal yang terjadi dalam APBN-nya, melainkan juga untuk mencegah terus merosotnya nilai mata uang rupiah terhadap mata uang lainnya. Sementar itu, sektor swasta membutuhkan dana tersebut untuk dapat mempertahankan aktivitasnyam, baik itu meneruskan investasi yang sudah terlanjur dilakukan atau untuk menjaga pasarnya yang sudah dikuasainya. Dengan kata lain, di tengah krisis ekonomi dan usaha untuk krisis ini, Indonesia semakin terjerat dalam jebakan utang (debt trap). Hal ini bisa menimbulkan persoalan yang sama dalam jangka panjang, yaitu ekonomi mengalami krisis kembali, karena pada saat jatuh tempo nantinya semua kewajiban tersebut tetap harus dibayar. Oleh karena itu, walaupun Indonesia sangat membutuhkan valuta asing tersebut, manajemen utang harus sudah di desain dengan melihat kemampuan membayar jangka panjang.
Jika Investasi dari luar negeri ini benar-benar terarah pada sektor prodktif dan dapat menghasilkan devisa pada masa yang akan datang, maka masalah pembayaran utang tersebut akan dapat diatasi. Namun jika kita mengulangi kesalahan pada masa yang lalu, maka sejarah akan kembali terulang. Sebab, baik dari sisi manajemen utang luar negeri pemerintah maupun swasta pada masa lalu sangat potensial melahirkan ketidakmampuan untuk membayar kembali kewajiban utangnya.
Pembangunan ekonomi pada dasarnya diartikan sebagai suatu proses di mana Produk Domestik Bruto (PDB) riil maupun pendapat riil per kapita meningkat dalam jangka waktu tertentu secara terus-menerus melalui kenaikan produktivitas per kapita (D. Salvatore dan E.T. Dowling, 1997). Sasaran yang berupa kenaikan tingkat produksi riil (pendapatan per kapita) tersebut merupakan tujuan utama yang perlu dicapai dengan menyediakan dan mengerahkan sumber-sumber produksi untuk itu. Dalam hubungan ini dapat dikemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan dengan peningkatan output dan pendapatan riil per kapita itu bukanlah satu-satunya sasaran kebijakan pembangunan di negara-negara berkembang.
Namun demikian kebijakan pembangunan ekonomi dalam upaya menaikkan tingkat pertumbuhan output itu merupakan bagian utama dari rencana pembangunan pda kebanyakan negara berkembang. Hal ini disebabkan karena: (1) pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai suatu syarat yang sangat diperlukan untuk perbaikan dalam kesejahteraan masyarakat, dan (2) pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai prasyarat untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan lainnya, seperti: penyediaan dan perluasan kesempatan kerja, redisribusi pendapatan dan kekayaan dalam masyarakat, serta penyediaan fasilitas atau sarana sosial di bidang-bidang perumahan, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas sosial lainnya.
Pertumbuhan ekonomi membutuhkan penyediaan atas pengalokasian sumber-sumber produksi untuk ditujukan pada proses produksi barang-barang modal yang tidak dipakai untuk konsumsi langsung, tetapi akan digunakan untuk proses produksi selanjutnya guna menghasilkan barang dan jasa. Dengan demikian perlu tersedia modal atau dana pembiyaan untuk pembangunan nasional yang pada dasarnya berasal dari: (1) sumber dana modal dari dalam negeri dan (2) sumber daya modal dari luar negeri. Sumber modal dari dalam negeri adalah berupa tabungan yang diciptakan dan dihimpun dengan cara mengehmat atau menekan konsumsi sekarang, baik sektor pemerintah maupun sektor swasta dan masyarakat. Sedangkan sumber modal dari luar negeri adalah berupa hibah (grant), bantuan atau pinjaman luar negeri dan penanaman modal asing.
Karena bantuan luar negeri itu diberikan dengan disertai pemberian konsesi (concessional) berupa tungkat bunga yang lebih rendah daripada bunga psar (bunga komersial), maka pada umumnya pinjaman itu disebut sebagai bantuan luar negeri. Jadi bantuan luar negeri itu mengandung nsure hibah (grant element), di mana nilai hibah dari bantuan grant yang tidak mengikat adalah sebesar harga nominalnya (face value), sedangkan nilai hibah dari pinjaman adalah selisih nilai nominal semula dari pinjaman dengan nilai diskonto sekarang dari pembayaran pinjaman sebagai presentase dari nilai nominal semula. Dalam hubungan ini dapat dikemukakan bahwa nsure hiba suatu bantuan akan semakin besar bilamana tingkat bunga bantuan itu semakin rendah serta masa tenggang waktu ataupun jangka waktu pelunasannya kembali lebih lama.
BAB III
PEMBAHASAN
4.1.1 Perkembangan Kondisi Makroekonomi Indonesia
Perekonomian Indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter menunujukkan perkembangan yang cukup menarik. Pertumbuhan ekonomi Pada awal tahun 1995 tercatat 4.70% kemudian naik menjadi 7.82% pada tahun 1996 dan disusul dengan penurunan akibat krisis moneter pada tahun 1997 denganpertumbuhan PDB sebesar 4.70. Penurunan pertumbuhan PDB ini berturut-turut terjadi pada sampai tahun 1999 dengan penurunan yang sangat drastis yaitu sebesar 0.79%. Hal ini dapat dimaklumi karena dampak dari krisis moneter yang melanda Negara ini sangat signifikan. Banyaknya Perusahaan yang gulung tikar, bahkan industri perbankan sekalipun tidak luput dari terjangan krisis ini. Sehingga terjadi penurunan PDB yang signifikan. Hanya beberapa saja yang biasa bertahan yaitu pengusaha UKM yang sedikit mengandalkan perbankan dalam permodalannya, sehingga pengaruh krisis tidak terlalu besar pada sektor ini.
Sedangkan tahun 2005 perekonomian Indonesia menghadapi tantangan yang cukup berat. Kondisi perekonomian global yang kurang menguntungkan, terutama meningkatnya harga minyak dunia dan strukutr pengetatan kebijakan moneter global menyebabkan upaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan stabilitas ekonomi makro ekjonomi menjadi kendala.
Ketergantungan kegiatan ekonomi domestik pada impor menyebabkan kondisi perekonomian secara struktural cukup rentan terhadap perubahan kondisi eksternal. Ekspansi ekonomi menjadi lebih lambat ketika kegiatan investasi terkendala oleh meningkatnya biaya produksi akibat kenaikan harga BBM dan belum tuntasnya berbagai peraturan-peraturan di bidang investasi dan pembangunan infrastruktur. Sementara itu, kegiatan konsumsi juga mengalami penurunan karena melemahnya daya beli mesyarakat dan mulai meningkatkan suku bunga . Di sisi lain, kinerja ekspor juga belum begitu menggembirakan seiring dengan kondisi permintaan global yang menurun dan melemahnya daya saing. Untuk keseluruhan tahun 2005, Bank Indonesia memperkirakan bahwa perekonomian dapat tumbuh sekitar 5,3% - 5,6%.
Dari stabilitas makro ekonomi, gejolak eksternal harga minyak dunia dan siklus pengetatan moneter global sangat berpengaruh pada kestabilan makroekonomi Indonesia. Kenaikan harga minyak dunia telah mengakibatkan lonjakan kenaikan permintaaan valuta asing di pasar domestik. Kondisi ini diperberat oleh penyesuaian portofolio investor asing yang dengan cepat merespon perubahan suku bunga luar negeri dan masih terbatasnya penanaman modal asing . Dalam pasar volatilitas nilai rupiah yang cukup tajam. Depresiasi nilai tukar dan kenaikan harga BBM pada akhirnya telah menyebabkab peningkatanb inflasi secara signifikan. Dengan perkembangan ini lahju inflasi pada tahun 2005 mencapai sekitar 18%. Sementara pada akhir inflasi inti mencapai 9,5%.
4.2 Pertumbuhan ekonomi Indonesia Sebelum dan Sesudah Krisis Moneter
Gejolak ekonomi yang terjadi membawa arus pertumbuhan ekonomi yang bergelombang, mengingat banyaknya fenomena yang terjadi dalam dekade terakhir. Pertumbuhan ekonomi di ukur dari Produk Domestik Bruto yang dihitung pertumbuhannya dari tahun ke tahun berdasarkan atas dasar harga konstan. Besar pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh besar PDB tiap tahunnya, tentu saja factor-faktor yang dapat mempengaruhi besar PDB sudah pasti akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pada awal tahun penelitian yaitu tahun 1989 kondisi stabilitas moneter pada saat itu sangat baik, hal ini ditandai dengan indicator ketiadaan ancaman devaluasi, cadangan devisa yang cukup tinggi tingkat inflasi yang rendah dan terkendali, suku bunga yang cenderung menurun, serta kurs rupiah yang relative stabil. Kondisi ini membawa perekonomian Indonesia kea rah yang sangat baik. Terlihat dengan besarnya tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada saat itu yaitu 7,46%. Pada tahun 1989/1990 upaya pemerintah untuk memperkecil angka pengangguran cukup tinggi, untuk itu pemerintah berhasil memobilisasi dana dalam rangka mendorong investasi, dengan perangkat kebijaksanaan deregulasi.
Pada paruh kedua dasawarsa 1990 krisis ekonomi yang sangat dahsyat melanda perekonomian Indonesia sumbernya dibagi dalam 3 kelompok yaitu :
1. Faktor Eksternal
Faktor eksternal dipandang sebagai pemicu terjadinya krisis ekonomi dalam negeri secara luas. Devaluasi Baht dalam bulan juli 1997 telah memicu kegoncangan kurs mata uang ASEAN dan Negara-negara Asia Timur. Indonesia terkena devaluasi terparah dari devaluasi Baht. Kegoncangan kurs mata uang di kawasan Asia Tenggara dan Timur adalah cermin krisis keuangan di Asia Timur terutema sebagai akibat pergeseran kapital internasional jangka pendek uang sulit dikendalikan kebijakan ekonomi masing-masing Negara di Asia Timur. Kurs mata uang yang terus-menerus melemah akan meyebabkan pelarian capital ( Capital Flight)
2. Faktor Internal
Melemahnya kurs rupiah terus menerus selama 18 bulan ( sejak juli 1997) telah membuka tabir kelemahan perekonomian Indonesia. Ganasnya tindakan KKN di Indonesia yang semakin tidak terkendali ,kegiatan perekonomian semakin tidak efisien di sektor public maupun di sektor swasta. Inefisiensi dimana-mana (pemerintah ,BUMN dan perusahaan swasta) menandakan adanya salah urus ( mismanagenment) disebagian besar dunia bisnis dan pemerintah.
Akibatnya utang luar negeri pemerintah maupun swasta semakin banyak bertumpuk dan terutama swasta semaki tidak mampu melunasi utang dan bunganya.
3. Krisis Kepercayaan
Krisis kepercayaan telah memperkuat krisis yang sudah ada. Akibatnya investor asing secara mendadak memindahkan kepitalnya ke luar negeridan modal dalam negeri juga banyak dilarikan ke luar negeri. Sebab apabila risiko di dalam negeri (kerawanan dan ketegangan) semakin tinggi, tidak mustahil arus modal yang tadinya banyak masuk, secara mendadak berbalik lari ke luar negeri (akibatnya akan memperlemah kurs rupiah). Iklim bisnis yang sehat dan kompetitif kyrang tampak pada rejim orde baru. Praktik diskriminasi dalam bisnis menyolok sekali. Banyak konsensi diberikan kepada gru-grup bisnis tertentu (termasuk bisnis keluarga) dan pemberiannya tidak transparan seperti konsesi kehutanan, telepon, dan infrastruktur lainnya. Proteksi khusus diberikan untuk melindungi industry mobil, pesawat terbang, kapal laut, petrokimia, dan lain sebagainya. Ketidakpercayaan masyarakat dan bahkan dendam rakyat kepada rejim orde baru yang tampak pada saat itu mengharuskan pemerintah segera melakukan reformasi hukum , politik, dan ekonomi.
Dari tabel di atas dapat kita lihat Indikator-indikator ekonomi makro yang mengalami perbaikan setelah masa krisis terlewati meskipun masih harus kerja keras lagi karena hasil ini masih belum memuaskan. Terlihat sekali bahwa pertumbuhan PDB riil pada tahun 1998 adalah negatif yaitu -13,1 namun hal ini dapat dimaklumi karena pada tahun sebelumnya yaitu tepatnya pertengahan 1997 Indonesia mendapat goncangan yang sangat dahsyat dalam perekonomiannya yang berdampak pada semua system yang di Indonesia. Namun selanjutnya pada tahun 1999 pertumbuhan naik menjadi 0,8%.
Pertumbuhan pada tahun 1999 masih sangat lambat karena pengaruh krisis masih sangat terasa pada saat itu, dimana sendi-sendi penggerak perekonomian tumbang dan perlu waktu untuk memulihkannya kembali. Namun demikian pada tahun 2002 kinerja ekonomi Indonesia mengalami perbaikan, paling tidak dilihat dari laju pertumbuhan PDB. Seperti yang ditunjukkan oleh tabel 4.2 pada tahun 2002 PDB Indonesia tumbuh 4,3 % dibanding 3,8% pada tahun sebelumnya, dan kemajuan ini berlangsung terus hingga akhir periode tahun 2004 mencapai 5,1%. PDB nominal meningkat dari 164 miliar dolar AS tahun 2001 menjadi 258 miliar dolar AS pada tahun 2004. Demikian juga pendapatan per kapita meningkat dengan presentase yang cukup besar dari 697 dolar AS ke 1.191 dolar AS dari 2002 hingga akhir 2004. Kinerja ekspor juga membaik dengan pertumbuhan 5% tahun 2002 dibanding -9,3% tahun 2001, dan terus naik hingga mencapai 12% tahun 2004. Namun demikian, neraca perdagangan (NP), yakni saldo ekspor (X) – impor (M) barang, maupun transaksi berjalan (TB), sebaai presentase dari PDB mengalami penurunan.
Perkembangan perekonomian di Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor politik, pada bulan- bulan pertama pemerintahan SBY dan demokrasi, rakyat Indonesia, pelaku usaha luar dan dalam negeri maupun Negara-negara donor serta lembaga-lembaga dunia seperti IMF, Bank Dunia dan ADB sempat optimis bahwa kinerja ekonomi Indonesia 5 tahun ke depannya akan jauh lebih baik disbanding masa pemerintahan sebelumnya. Dan hal tersebut terbukti dengan adanya peningkatan pertumbuhan PDB dari tahun ke tahun hingga tahun 2008, diikuti dengan peningkatan indikator lainnya seperti pertumbuhan ekspor, impor, neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Namun pada tahun 2005 neraca perdagangan mengalami penurunan sebesar 1% pada tahun sebelumnya, hal ini dikarenakan adanya kenaikan harga BBM di pasar internasional dari 45 dolar AS per barrel awal tahun 2005 menjadi 70 dolar per barrel awal Agustus 2005 yang sangat tidak menguntungkan Indonesia. Tingginya impor BBM menguras cadangan devisa Indonesia apalagi dengan harga yang melambung tinggi akibatnya pemerintah membuat suatu keputusan yang sangat tidak populis yakni mengurangi subsidi BBM, yang membuat harga BBM di pasar meningkat tajam.Tentu saja dampaknya sangat terasa oleh masyarakat kecil dan industry rumah tangga yang mengandalkan banyak BBM dalam produksinya dan kemudian Harga-harga barang menjadi mahal. Namun hal itu tidak membat perekonomian menjadi terpuruk, buktinya pada tahun 2006 dan 2007 TB mengalami kenaikan yaitu masing-masing 3,0 dan 2,5. Namun pada tahun 2008 dunia dilanda krisis global yang bermula dari Amerika Serikat yang berdampak pula bagi pereknomian Indonesia meskipun diprediksi idak separah krisis yang terjadi 10 tahun yang lalu, akibatnya pertumbuhan ekonomi turun sebesar 0,3% dan Transaksi berjalan turun sebesar -36% menjadi 1,6% dari 2,5% pada tahun 2007.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan di atas mengenai pengaruh utang luar negeri dan variabel dumm (krisis moneter) terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan hubungan kausalitas antara utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi , maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Dari hasil pembahasan di atas, hubungan antara kedua variabel yaitu hutang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan 2 arah atau feedback, artinya kedua variabel tersebut saling mempengaruhi satu sama lainnya.
2. Berdasarkan diatas menunjukkan bahwa kedua variabel utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomu memiliki hubungan stasioner pada tingkat second difference yang berarti bahwa terdapat hubungan jangka panjang antara utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
3. Utang luar negeri memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah krisis moneter. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien utang luar negeri yaitu sebesar 0.555. Artinya setiap kenaikan utang luar negeri sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi akan naik sebesar 0.555%, ceteris paribus
Saran
1. Perkembangan utang luar negeri harus diperhatikan agar tetap berada pada posisi normal dan menguntungkan pembangunan ekonomi bukan untuk menambah beban perekonomian di Indonesia. Sebab dalam jangka panjang utang luar negeri dapat merugikan perekonomian karena risikonya lebih besar. Kondisi perekonomian Indonesia yang masih rentan terhadap pengaruh dari luar, nilai kurs yang rupiah yang masih belum stabil menjadi alasan yang sangat penting dan harus dipertimbangkan oleh pemerintah dalam mengambil langkah melakukan pinjaman luar negeri.
2. Perkembangan pertumbuhan ekonomi tiap tahunnya harus diperhatikan agar tetap stabil peningkatannya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Para pengamat ekonomi Indonesia harus lebih jeli melihat peluang-peluang dalam rangka meningkatkan PDB dengan cara memperluas lapangan kerja sehingga dapat merangsang pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya meningkatan kesejahteraan rakyat.
3. Krisis ekonomi harus tetap diwaspadai karena dapat menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan sendi-sendi perekonomian yang pada akhirnya dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment